Foto-foto qyu
Innovation Nokia vs. Blackberry | 02.07 |
Filed under:
|
Demam Blackberry (Bb) di tanah air tampaknya kian tak tertahankan. Laju penjualannya terus melesat, dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan pengguna Bb tertinggi di dunia (!)
Para pejabat RIM (Research In Motion) produsen Bb yang berlokasi nun jauh di Ontario, Kanada sana sampai tertegun-tegun, bahwa ada ledakan populasi pengguna Bb di sebuah negeri katulistiwa bernama Indonesia.
Dan kisah menjulangnya produk Blackberry itu dengan segera membuat produk smartphone keluaran Nokia seperti terpelanting, tercabik penuh luka. Jika tren ini terus berlanjut – dan banyak pengamat percaya ini akan terus berlanjut – masa depan produk smartphone Nokia niscaya akan tergolek dalam bayang-bayang kehancuran.
Syair dan kidung kematian mungkin masih terlalu pagi untuk dilantunkan. Namun, dalam perang inovasi yang brutal, everything is possible. Jika Nokia tak jua mampu mengelak, pendekar tangguh dari Finliandia ini bisa pelan-pelan tergeletak wafat dalam pusara kematian. Dan di atas batu nisannya, tercetak kalimat : Nokia - Rest in Peace. Who knows?
Semua kisah yang membawa kepiluan bagi Nokia itu berawal dari satu produk yang bernama Blackberry. Ada dua faktor utama yang berperan dalam melambungnya produk Bb ini. Yang pertama tentu saja adalah : produk yang inovatif dengan desain amat elegan. Teknologi email dan browsing-nya sangat user friendly, dan penempatan papan keyboardnya juga terlihat sangat pas (untuk seri Bold dan Curve). Desainnya juga sangat cantik nan menawan, membuat produk smartphone Nokia Communicator menjadi terlihat sangat jadul.
Faktor kedua, yang juga tak kalah penting, adalah apa yang dapat disebut sebagai “imitation effect”. Tentu efek ini bukan khas Indonesia, namun lazim menghinggap pada benak para konsumen di berbagai penjuru dunia. Efek ini intinya begini : kalau orang laen pake Bb, gue mesti pake juga dong. Sebab kalo gue ga pake, gue bakal kelihatan ketinggalan jaman, gitu.
Efek semacam itu dengan segera akan menciptakan viral : atau promosi yang menyebar dengan sendirinya melalui jaringan para konsumennya. Efek semacam ini pelan-pelan bergerak seperti bola salju dan pada titik tertentu, akan menciptakan momentum ledakan penjualan. Gladwell menyebutnya sebagai tipping point : atau titik dimana efek viral itu melaju tak tertahankan.
Dan persis efek semacam itulah yang dengan indah dimanfaatkan oleh produsen Bb. Mereka hampir tak pernah mengeluarkan biaya untuk iklan; sebab yang menjadi salesman produk mereka adalah ribuan penggunanya yang tersebar disetiap sudut kota. Dan asyiknya “ribuan salesman/salesgirl” ini tidak perlu dibayar. Namun seperti kita lihat : efeknya sangat dramatis bagi laju penjualan Bb. (Ini tentu berbeda dengan smartphone Nokia yang jor-joran mengeluarkan puluhan milyar untuk pasang iklan dimana-mana; namun hasilnya tak juga maksimal).
Menyadari serbuan Bb yang kian tak tertahankan, Nokia mencoba merilis seri E, yang merupakan rangkaian produk smartphone dengan beragam keunggulan. Namun sayang, laju penjualannya ndak seperti yang diharapkan. Inilah yang membuat pangsa pasar smartphone Nokia secara global kian tergerus (dari sekitar 49 % pada tahun 2006 menjadi 41 % pada tahun 2009 ini; sementara pangsa Bb melaju hampir tiga kali lipat, dari 7 % pada tahun 2006 menjadi 20% pada tahun 2009).
Tren diatas tak pelak telah membuat Nokia segera berbenah; sebab jika mereka terus gagal membalikkan tren itu, maka masa depan mereka benar-benar berada dalam kekelaman. Sebab pada sisi lain, secara global Nokia juga harus menahan laju produk dahsyat lainnya, yakni iPhone dari Apple yang juga terus menggerus pangsa pasar Nokia.
Serangkaian kisah diatas tampaknya kian menegaskan arti penting inovasi. Tanpa kecerdikan melakukan inovasi, setiap perusahaan – betapapun hebatnya – pasti akan terjungkal dalam semak-semak kehinaan. Perang inovasi memang sungguh brutal. Ia selalu akan meninggalkan para pecundang yang tak sigap merespon dinamika pasar. Pecundang semacam pasti akan selalu tersingkir, dan terkaing-kaing dalam lembah kenestapaan.
Sumber : http://strategimanajemen.net/
Para pejabat RIM (Research In Motion) produsen Bb yang berlokasi nun jauh di Ontario, Kanada sana sampai tertegun-tegun, bahwa ada ledakan populasi pengguna Bb di sebuah negeri katulistiwa bernama Indonesia.
Dan kisah menjulangnya produk Blackberry itu dengan segera membuat produk smartphone keluaran Nokia seperti terpelanting, tercabik penuh luka. Jika tren ini terus berlanjut – dan banyak pengamat percaya ini akan terus berlanjut – masa depan produk smartphone Nokia niscaya akan tergolek dalam bayang-bayang kehancuran.
Syair dan kidung kematian mungkin masih terlalu pagi untuk dilantunkan. Namun, dalam perang inovasi yang brutal, everything is possible. Jika Nokia tak jua mampu mengelak, pendekar tangguh dari Finliandia ini bisa pelan-pelan tergeletak wafat dalam pusara kematian. Dan di atas batu nisannya, tercetak kalimat : Nokia - Rest in Peace. Who knows?
Semua kisah yang membawa kepiluan bagi Nokia itu berawal dari satu produk yang bernama Blackberry. Ada dua faktor utama yang berperan dalam melambungnya produk Bb ini. Yang pertama tentu saja adalah : produk yang inovatif dengan desain amat elegan. Teknologi email dan browsing-nya sangat user friendly, dan penempatan papan keyboardnya juga terlihat sangat pas (untuk seri Bold dan Curve). Desainnya juga sangat cantik nan menawan, membuat produk smartphone Nokia Communicator menjadi terlihat sangat jadul.
Faktor kedua, yang juga tak kalah penting, adalah apa yang dapat disebut sebagai “imitation effect”. Tentu efek ini bukan khas Indonesia, namun lazim menghinggap pada benak para konsumen di berbagai penjuru dunia. Efek ini intinya begini : kalau orang laen pake Bb, gue mesti pake juga dong. Sebab kalo gue ga pake, gue bakal kelihatan ketinggalan jaman, gitu.
Efek semacam itu dengan segera akan menciptakan viral : atau promosi yang menyebar dengan sendirinya melalui jaringan para konsumennya. Efek semacam ini pelan-pelan bergerak seperti bola salju dan pada titik tertentu, akan menciptakan momentum ledakan penjualan. Gladwell menyebutnya sebagai tipping point : atau titik dimana efek viral itu melaju tak tertahankan.
Dan persis efek semacam itulah yang dengan indah dimanfaatkan oleh produsen Bb. Mereka hampir tak pernah mengeluarkan biaya untuk iklan; sebab yang menjadi salesman produk mereka adalah ribuan penggunanya yang tersebar disetiap sudut kota. Dan asyiknya “ribuan salesman/salesgirl” ini tidak perlu dibayar. Namun seperti kita lihat : efeknya sangat dramatis bagi laju penjualan Bb. (Ini tentu berbeda dengan smartphone Nokia yang jor-joran mengeluarkan puluhan milyar untuk pasang iklan dimana-mana; namun hasilnya tak juga maksimal).
Menyadari serbuan Bb yang kian tak tertahankan, Nokia mencoba merilis seri E, yang merupakan rangkaian produk smartphone dengan beragam keunggulan. Namun sayang, laju penjualannya ndak seperti yang diharapkan. Inilah yang membuat pangsa pasar smartphone Nokia secara global kian tergerus (dari sekitar 49 % pada tahun 2006 menjadi 41 % pada tahun 2009 ini; sementara pangsa Bb melaju hampir tiga kali lipat, dari 7 % pada tahun 2006 menjadi 20% pada tahun 2009).
Tren diatas tak pelak telah membuat Nokia segera berbenah; sebab jika mereka terus gagal membalikkan tren itu, maka masa depan mereka benar-benar berada dalam kekelaman. Sebab pada sisi lain, secara global Nokia juga harus menahan laju produk dahsyat lainnya, yakni iPhone dari Apple yang juga terus menggerus pangsa pasar Nokia.
Serangkaian kisah diatas tampaknya kian menegaskan arti penting inovasi. Tanpa kecerdikan melakukan inovasi, setiap perusahaan – betapapun hebatnya – pasti akan terjungkal dalam semak-semak kehinaan. Perang inovasi memang sungguh brutal. Ia selalu akan meninggalkan para pecundang yang tak sigap merespon dinamika pasar. Pecundang semacam pasti akan selalu tersingkir, dan terkaing-kaing dalam lembah kenestapaan.
Sumber : http://strategimanajemen.net/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar